Rabu, 11 Agustus 2010

PUPUTAN MARGARANA

               Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran.Sama seperti daerah lain, pasukan RI di Bali juga menjalankan perang gerilya. Markas Besar Operasi (MBO) sebagai induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertashanan di Bali, di datangkan bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri kedalam pasukan yang ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak Belanda pernah mengirim surat kepada I Gusti Ngurah Rai untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, Beliau tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutkan seluruh rakyat.

            Sesuai dengan hasil pertemuan para pucuk pimpinan perjuangan di Bali yang diadakan di Desa Bongkasa, Badung, maka diutuslah I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Putu Wisnu, Cokorda Ngurah, I Wayan Ledang ke Jawa untuk melaporkan situasi di Bali dan meminta bantuan senjata serta tambahan pasukan untuk memperkuat pertahanan perjuanagan di Bali. Bapak Wijdakusuma, Ida BagusTantra, Bapak Debes ditugaskan mengadakan konsolidasi perjuangan di Bali sambil menunggu kedatangan rombongan I Gusti Ngurah Rai dari Jawa.

             Pada permulaan bulan Maret 1946, bantuan dari Jawa mulai berdatangan dan disiapkan di Banyuwangi, di bawah pimpinan Kapten Markadi. Pasukan yang diberangkatkan ke Bali adalah pasukan Waroka, pasukan I Gusti Ngurah Rai dan pasukan Markadi. Pasukan Waroka mendarat di Celukan Bawang, pasukan I Gusti Ngurah Rai mendarat di Yeh Kuning dan Pulukan.

              Pada tanggal 4 Maret 1946 malam, rombongan ALRI dipimpin oleh Kapten Markadi berangkat dari Pelabuhan Banyuwangi dengan 16 perahu dengan 160 orang personel. Dalam penyeberangan pasukan, terjadi pertempuran sengit dengan patroli NICA di Selat Bali yang memakan korban di kedua belah pihak. Dari pihak pasukan Republik gugur Cokorda Gambir dan Cokorda Darma putra yang berasal dari Gianyar, dari ALRI gugur Letnan Muda Sumeh Darsono. Sedangkan pada pihak Belanda, salah satgu boatnya dapat ditenggelamkan.Akhirnya pasukan Markadi dapat mendarat di Klatakan Melaya Jemberana.

              I Gusti Ngurah Rai bersama rombongannya berangkat dengan membawa pasukan sebanyak 45 orang. Mereka berangkat dari Muncar, sebuah desa nelayan, yang terkenal di daerah Banyuwangi. Dengan menggunakan beberapa perahu nelayan, rombongan berangkat pada malam hari tanggal 4 April 1946. Pelayaran dilakukan dengan menyusur pantai Banyuwangi ke arah utara, kemudian memotong Selat Bali pada daerah yang paling sempit, yaitu di daerah Ketapang. Pada waktu lewat tengah malam, sekitar jam 02.00 malam, rombongan mendapat serangan dari patroli Belanda yang menggunakan motor boat.

             Terjadilah pertempuran laut yang seru. Dalam pertempuran laut ini Cokorda Darmaputra dan agen polisi II Cokorda Ngurah Gambir gugur. Sedangkan Cokorda Oka tertawan. Rombongan I Gusti Ngurah Rai pecah menjadi dua bagian. Sebagian rombongan pada malam itu juga berhasil mendarat di Pantai Yeh Kuning, daerah Pulukan Jembrana,dipimpin oleh Bonjoran Bayupathi ke Muncar. Penyeberangan diulangi kembali pada malam itu juga. Rombongan Ngurah Rai dengan selamat sampai di Pantai Yeh Kuning pada waktu pagi hari tanggal 5 April 1946 dan terus melanjutkan perjalanan menuju ke Desa Pulukan untuk menantikan hari malam. Seluruh rombongan Ngurah Rai bergabung di Pulukan dan pada malam harinya mereka berangkat ke Munduk Malang, Tabanan.

             Untuk memudahkan kontak dengan Pulau Jawa, I Gusti Ngurah Rai menjalankan strategi pengalihan perhatian Belanda dari barat ke bagian timur Bali. Pada tanggal 28 Mei 1946, I Gusti Ngurah Rai mengerahkan pasukannya menuju kearah timur yaitu dari Munduk Malang ke daerah Karangasem yang terkenal dengan "Perjalanan Juni-Juli" atau Long March. Selama Long March pasxukan Ciung Wanara sering di hadang oleh tentara Belanda. Pada tanggal 5 Juli1946, pasukan Ciung Wanara tiba di Tanah Aron, Karangasem.

             Dipilihnya Tanah Aron sebagai markas, karena dusun tersebut terletak di lereng Gunung Agung yang merupakan perbukitan yang kering dan tandus, ditumbuhi beberapa macam pepohonan seperti "belu" dan jambu klutuk. Di sebelah timur dikelilingi jurang, di sebelah selatan merupakan daerah yang lebih rendah, terletak Bukit Pawon. Setelah dua hari, ada laporan bahwa Belanda mulai menempatkan pasukannya di Desa Pidpid, Abang, Ababi, dan Culik. Oleh karena itu, I Gusti Ngurah Rai dengan beberapa stafnya mengadakan perundingan tentang pengaturan posisi pertahanan. Pada tanggal 7 Juli 1946 kurang lebih pukul 07.00 pagi,    I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk mengatur posisi yang telah ditentukan. Setengah jam kemudian dari arah barat datanglah iring-iringan pasukan Belanda dengan kekuatan 200 orang.

             Pada pukul 09.00 pagi terdengar tembakan dari arah Bukit Pawon, dimana pada posisi tersebut berkedudukan pasukan yang dipimpin oleh Kapten Markadi. Tak lama berselang dari arah utara (atas) terdengar suara tembakan dari pasukan Tabanan yang dipimpin oleh Kapten Wijana. Pasukan Belanda bergerak mundur dan turun pada posisi yang menguntungkan pasukan Republik. Dengan dibatasi sebuah jurang dan jarak sekitar 250 meter, pasukan induk dengan jelas dapat melihat pasukan Belanda. Sebaliknya Belanda tidak menduga bahwa dihadapannya telah siap pasukan I Gusti Ngurah Rai.   Letnan Dhiasa memerintahkan penembakan dengan senjata kaliber 12,5 mm. Terjadilah kontak senjata hingga  pukul 15.00.

            Dalam pertempuran tersebut 82 serdadu NICA berhasil dibinasakan,sedangkan dipihak Ciung Wanara semuanya selamat. Setelah pertempuran itu pasukan Ciung Wanara kembali menuju arah barat yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan).  Pada waktu staf MBO (Markas Besar Operasi) berada di Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di kota Tabanan.  Perintah itu dilaksanakan pada tanggal 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik.  Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri dengan pasukan Ngurah Rai.  Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga.

            Keesokan harinya tanggal 19 November 1946 pasukan beristirahat di Desa Ole dekat Marga kurang lebih 10 km di sebelah utara kota Tabanan. dalam keadaan beristirahat itu letkol I Gusti Ngurah Rai, Kapten I Gusti wayan Debes, Mayor I Gusti Putu Wisnu, dan kapten Sugianyar serta Wagimin mengadakan musyawarah untuk mengatur taktik perlawanan dalam menghadapi NICA. Pasukan Ciung Wanara sebagai induk pasukan di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai, yang telah mendapatkan tambahan personel dan persenjataan, menyiapkan pertahanan di sela-sela tanaman jagung di persawahan Uma Kaang.

            Pada tanggal 20 November 1946, pagi-pagi benar sekitar pukul 06.00 pasukan menerima laporan dari penghubung laskar rakyat bahwa di sebelah utara dan selatan Desa Marga telah terlihat pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap. kemudian I Gusti Ngurah Rai memerintahkan untuk mengadakan penyelidikan. Desa marga ternyata telah terkepung. Seluruh penduduk Desa Marga baik tua-muda,laki-perempuan digiring ke pasar Marga yang kemudian disiksa dengan kejam. Sekitar pukul 09.00 terdengar letusan pistol Letkol I Gusti Ngurah Rai sebagai tanda penyerangan terhadap serdadu NICA yang telah masuk dalam sasaran tembak. Terjadilah baku tembak yang seru sehingga banyak serdadu NICA jadi korban. Hal itu membangkitkan kegembiraan pasukan Republik dan keluar dari posisi pertahanannya untuk mengejar musuh.

             Dalam keadaan gawat I Gusti Ngurah Rai memerintahkan agar pasukan Ciung Wanara tetap tabah dan gigih melawan kavaleri Belanda yang didukung dengan serangan udara. Kapten Sugianyar selaku pimpinan Markas Besar Daerah Badung gugur. Mengetahui hal tersebut Letkol I Gusti Ngurah Rai merasa sangat sedih dan dengan kebulatan tekad untuk keteguhan hati pantang menyerah sampai titik darah penghabisan akhirnya memberikan perintah "PUPUTAN" kepada seluruh pasukannya.

             Disinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan puputan sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuannya gugur, termasuk I Gusti Ngurah Rai sendiri sebagai kusuma bangsa. sebaliknya dipihak Belanda ada sekitar 400 orang yang tewas. Un tuk mengenang peristiwa tersebut kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan TUGU PAHLAWAN TAMAN PUJAAN BANGSA.

         Pada tanggal 18-24 Desember 1946 bertempat di pendopo Bali Hotel Denpasar berlangsung Konferensi Denpasar. Konferensi itu dibuka oleh Van Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibukota Makassar (Ujung Pandang).

             Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali seperti jaman raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh Raja yang dibantu oleh patih, Punggawa, Perbekel, dan pemerintahan paling bawah adalah Kelian. Di samping itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan diatas raja, yaitu dewan raja-raja.

              Agresi militer yang pertama terhadap pasukan pemerintahan Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta dilancarkan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Belanda melancarkan lagi agresinya yang kedua pada tanggal 19 desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di Bali terus menerus di usahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (GRIM). Selanjutnya, 27 November 1949 GRIM menggabungkan diri dengan organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu kemudian diubah lagi menjadi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda Kecil.

             Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai persetujuan tentang pembentukan Uni-Indonesia-Belanda dimulai sejak akhir Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS.