Rabu, 11 Agustus 2010

PUPUTAN MARGARANA

               Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena pertempuran.Sama seperti daerah lain, pasukan RI di Bali juga menjalankan perang gerilya. Markas Besar Operasi (MBO) sebagai induk pasukan selalu berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertashanan di Bali, di datangkan bantuan ALRI dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri kedalam pasukan yang ada di Bali. Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak Belanda pernah mengirim surat kepada I Gusti Ngurah Rai untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, Beliau tidak bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutkan seluruh rakyat.

            Sesuai dengan hasil pertemuan para pucuk pimpinan perjuangan di Bali yang diadakan di Desa Bongkasa, Badung, maka diutuslah I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Putu Wisnu, Cokorda Ngurah, I Wayan Ledang ke Jawa untuk melaporkan situasi di Bali dan meminta bantuan senjata serta tambahan pasukan untuk memperkuat pertahanan perjuanagan di Bali. Bapak Wijdakusuma, Ida BagusTantra, Bapak Debes ditugaskan mengadakan konsolidasi perjuangan di Bali sambil menunggu kedatangan rombongan I Gusti Ngurah Rai dari Jawa.

             Pada permulaan bulan Maret 1946, bantuan dari Jawa mulai berdatangan dan disiapkan di Banyuwangi, di bawah pimpinan Kapten Markadi. Pasukan yang diberangkatkan ke Bali adalah pasukan Waroka, pasukan I Gusti Ngurah Rai dan pasukan Markadi. Pasukan Waroka mendarat di Celukan Bawang, pasukan I Gusti Ngurah Rai mendarat di Yeh Kuning dan Pulukan.

              Pada tanggal 4 Maret 1946 malam, rombongan ALRI dipimpin oleh Kapten Markadi berangkat dari Pelabuhan Banyuwangi dengan 16 perahu dengan 160 orang personel. Dalam penyeberangan pasukan, terjadi pertempuran sengit dengan patroli NICA di Selat Bali yang memakan korban di kedua belah pihak. Dari pihak pasukan Republik gugur Cokorda Gambir dan Cokorda Darma putra yang berasal dari Gianyar, dari ALRI gugur Letnan Muda Sumeh Darsono. Sedangkan pada pihak Belanda, salah satgu boatnya dapat ditenggelamkan.Akhirnya pasukan Markadi dapat mendarat di Klatakan Melaya Jemberana.

              I Gusti Ngurah Rai bersama rombongannya berangkat dengan membawa pasukan sebanyak 45 orang. Mereka berangkat dari Muncar, sebuah desa nelayan, yang terkenal di daerah Banyuwangi. Dengan menggunakan beberapa perahu nelayan, rombongan berangkat pada malam hari tanggal 4 April 1946. Pelayaran dilakukan dengan menyusur pantai Banyuwangi ke arah utara, kemudian memotong Selat Bali pada daerah yang paling sempit, yaitu di daerah Ketapang. Pada waktu lewat tengah malam, sekitar jam 02.00 malam, rombongan mendapat serangan dari patroli Belanda yang menggunakan motor boat.

             Terjadilah pertempuran laut yang seru. Dalam pertempuran laut ini Cokorda Darmaputra dan agen polisi II Cokorda Ngurah Gambir gugur. Sedangkan Cokorda Oka tertawan. Rombongan I Gusti Ngurah Rai pecah menjadi dua bagian. Sebagian rombongan pada malam itu juga berhasil mendarat di Pantai Yeh Kuning, daerah Pulukan Jembrana,dipimpin oleh Bonjoran Bayupathi ke Muncar. Penyeberangan diulangi kembali pada malam itu juga. Rombongan Ngurah Rai dengan selamat sampai di Pantai Yeh Kuning pada waktu pagi hari tanggal 5 April 1946 dan terus melanjutkan perjalanan menuju ke Desa Pulukan untuk menantikan hari malam. Seluruh rombongan Ngurah Rai bergabung di Pulukan dan pada malam harinya mereka berangkat ke Munduk Malang, Tabanan.

             Untuk memudahkan kontak dengan Pulau Jawa, I Gusti Ngurah Rai menjalankan strategi pengalihan perhatian Belanda dari barat ke bagian timur Bali. Pada tanggal 28 Mei 1946, I Gusti Ngurah Rai mengerahkan pasukannya menuju kearah timur yaitu dari Munduk Malang ke daerah Karangasem yang terkenal dengan "Perjalanan Juni-Juli" atau Long March. Selama Long March pasxukan Ciung Wanara sering di hadang oleh tentara Belanda. Pada tanggal 5 Juli1946, pasukan Ciung Wanara tiba di Tanah Aron, Karangasem.

             Dipilihnya Tanah Aron sebagai markas, karena dusun tersebut terletak di lereng Gunung Agung yang merupakan perbukitan yang kering dan tandus, ditumbuhi beberapa macam pepohonan seperti "belu" dan jambu klutuk. Di sebelah timur dikelilingi jurang, di sebelah selatan merupakan daerah yang lebih rendah, terletak Bukit Pawon. Setelah dua hari, ada laporan bahwa Belanda mulai menempatkan pasukannya di Desa Pidpid, Abang, Ababi, dan Culik. Oleh karena itu, I Gusti Ngurah Rai dengan beberapa stafnya mengadakan perundingan tentang pengaturan posisi pertahanan. Pada tanggal 7 Juli 1946 kurang lebih pukul 07.00 pagi,    I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk mengatur posisi yang telah ditentukan. Setengah jam kemudian dari arah barat datanglah iring-iringan pasukan Belanda dengan kekuatan 200 orang.

             Pada pukul 09.00 pagi terdengar tembakan dari arah Bukit Pawon, dimana pada posisi tersebut berkedudukan pasukan yang dipimpin oleh Kapten Markadi. Tak lama berselang dari arah utara (atas) terdengar suara tembakan dari pasukan Tabanan yang dipimpin oleh Kapten Wijana. Pasukan Belanda bergerak mundur dan turun pada posisi yang menguntungkan pasukan Republik. Dengan dibatasi sebuah jurang dan jarak sekitar 250 meter, pasukan induk dengan jelas dapat melihat pasukan Belanda. Sebaliknya Belanda tidak menduga bahwa dihadapannya telah siap pasukan I Gusti Ngurah Rai.   Letnan Dhiasa memerintahkan penembakan dengan senjata kaliber 12,5 mm. Terjadilah kontak senjata hingga  pukul 15.00.

            Dalam pertempuran tersebut 82 serdadu NICA berhasil dibinasakan,sedangkan dipihak Ciung Wanara semuanya selamat. Setelah pertempuran itu pasukan Ciung Wanara kembali menuju arah barat yang kemudian sampai di Desa Marga (Tabanan).  Pada waktu staf MBO (Markas Besar Operasi) berada di Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di kota Tabanan.  Perintah itu dilaksanakan pada tanggal 18 November 1946 (malam hari) dan berhasil baik.  Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri dengan pasukan Ngurah Rai.  Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga.

            Keesokan harinya tanggal 19 November 1946 pasukan beristirahat di Desa Ole dekat Marga kurang lebih 10 km di sebelah utara kota Tabanan. dalam keadaan beristirahat itu letkol I Gusti Ngurah Rai, Kapten I Gusti wayan Debes, Mayor I Gusti Putu Wisnu, dan kapten Sugianyar serta Wagimin mengadakan musyawarah untuk mengatur taktik perlawanan dalam menghadapi NICA. Pasukan Ciung Wanara sebagai induk pasukan di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai, yang telah mendapatkan tambahan personel dan persenjataan, menyiapkan pertahanan di sela-sela tanaman jagung di persawahan Uma Kaang.

            Pada tanggal 20 November 1946, pagi-pagi benar sekitar pukul 06.00 pasukan menerima laporan dari penghubung laskar rakyat bahwa di sebelah utara dan selatan Desa Marga telah terlihat pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap. kemudian I Gusti Ngurah Rai memerintahkan untuk mengadakan penyelidikan. Desa marga ternyata telah terkepung. Seluruh penduduk Desa Marga baik tua-muda,laki-perempuan digiring ke pasar Marga yang kemudian disiksa dengan kejam. Sekitar pukul 09.00 terdengar letusan pistol Letkol I Gusti Ngurah Rai sebagai tanda penyerangan terhadap serdadu NICA yang telah masuk dalam sasaran tembak. Terjadilah baku tembak yang seru sehingga banyak serdadu NICA jadi korban. Hal itu membangkitkan kegembiraan pasukan Republik dan keluar dari posisi pertahanannya untuk mengejar musuh.

             Dalam keadaan gawat I Gusti Ngurah Rai memerintahkan agar pasukan Ciung Wanara tetap tabah dan gigih melawan kavaleri Belanda yang didukung dengan serangan udara. Kapten Sugianyar selaku pimpinan Markas Besar Daerah Badung gugur. Mengetahui hal tersebut Letkol I Gusti Ngurah Rai merasa sangat sedih dan dengan kebulatan tekad untuk keteguhan hati pantang menyerah sampai titik darah penghabisan akhirnya memberikan perintah "PUPUTAN" kepada seluruh pasukannya.

             Disinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan puputan sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuannya gugur, termasuk I Gusti Ngurah Rai sendiri sebagai kusuma bangsa. sebaliknya dipihak Belanda ada sekitar 400 orang yang tewas. Un tuk mengenang peristiwa tersebut kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan TUGU PAHLAWAN TAMAN PUJAAN BANGSA.

         Pada tanggal 18-24 Desember 1946 bertempat di pendopo Bali Hotel Denpasar berlangsung Konferensi Denpasar. Konferensi itu dibuka oleh Van Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibukota Makassar (Ujung Pandang).

             Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali seperti jaman raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh Raja yang dibantu oleh patih, Punggawa, Perbekel, dan pemerintahan paling bawah adalah Kelian. Di samping itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan diatas raja, yaitu dewan raja-raja.

              Agresi militer yang pertama terhadap pasukan pemerintahan Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta dilancarkan oleh Belanda pada tanggal 21 Juli 1947. Belanda melancarkan lagi agresinya yang kedua pada tanggal 19 desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di Bali terus menerus di usahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat gerilya yang lebih efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (GRIM). Selanjutnya, 27 November 1949 GRIM menggabungkan diri dengan organisasi perjuangan lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu kemudian diubah lagi menjadi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda Kecil.

             Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai persetujuan tentang pembentukan Uni-Indonesia-Belanda dimulai sejak akhir Agustus 1949. Akhirnya, 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS.














   











 
         
               

Senin, 05 Juli 2010

Kamis, 03 Juni 2010

Perjuangan Rakyat Bali di era abad ke-19 masehi


Perjuangan Rakyat Bali Melawan Belanda
Memasuki zaman globalisasi saat ini tampaknya sukar menarik batas yang tegas antara kehidupan dalam konteks nasional dan internasional. Lalu timbul pertanyaan, mana batas antara kehidupan internasional yang nasionalis dan yang tidak nasionalis? Apakah orang Indonesia yang bekerja pada perusahaan asing di Indonesia atau orang Indonesia yang bekerja di luar negeri tidak nasionalis? Pertanyaan ini akan berujung pada sebuah pertanyaan yang substansial “Apakah kita peduli pada keberadaan Republik Indonesia?”
Kalau kita tidak peduli lagi dengan Republik Indonesia, maka apa yang terjadi dengan Negara dan bangsa Yugoslavia mungkin akan terjadi pada Republik Indonesia. Negara Yugoslavia hilang dari percaturan dunia, diganti dengan berbagai Negara, yaitu: Bosnia, Kroasia, Serbia, Kosovo dan Montenegro. Oleh karena itu, jika kita merasa khawatir akan kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara Indonesia, maka yang harus dilakukan ialah mengusahakan agar rasa kebangsaan Indonesia dapat terus hidup di hati generasi muda.
Nah, dengan belajar sejarah kita berharap akan memperoleh hikmah untuk melangkah ke masa depan. Melalui sejarah kita dapat menemukan jati diri bangsa untuk kemudian memahaminya agar kita semua dapat meng-aktualisasikan diri untuk membangun bangsa ini.
Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan memerlukan waktu yang panjang dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Kita yakin bahwa dengan persatuan cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka akan tercapai. Atas dasar persamaan cita-cita itu, maka pada 28 Oktober 1928, nasionalisme-patriotisme ditingkatkan dan tertuang dalam bentuk sebuah ikrar yaitu Sumpah Pemuda. Ikrar ini merupakan manifestasi dari persatuan dan kesatuan, khususnya dikalangan pemuda Indonesia.
Berkat kekuatan nasionalisme yang melekat pada diri bangsa Indonesia, akhirnya cita-cita mewujudkan kemerdekaan dapat diperoleh pada 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta memproklamasikan berdirinya Negara Republik Indonesia.
Sekarang seluruh komponen bangsa tampaknya harus diingatkan kembali akan sejarah perjuangan bangsa. Setiap daerah mempunyai andil masing-masing dalam mengisi kemerdekaan Negara Indonesia.
Bali, merupakan salah satu daerah yang menjadi proses perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia. Dimulai pada tahun 1597 Masehi, Bali disinggahi armada dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornellis de Houtman dan berlabuh di Pantai Gelgel, klungkung. Setelah itu terjadilah hubungan persahabatan antara kerajaan Gelgel dan Bangsa Belanda. Namun Belanda lebih berkonsentrasi pada perdagangan di pelabuhan Banten (Pulau Jawa) dengan nama Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Menjelang pertengahan abad ke-19 di Bali terdapat sejumlah negara, masing-masing mempunyai raja dan pemerintahan sendiri, yaitu: Kerajaan Buleleng, Kerajaan Karangasem, Kerajaan Klungkung, Kerajaan Gianyar, Kerajaan Badung, Kerajaan Jembrana, Kerajaan Tabanan, Kerajaan Mengwi, dan Kerajaan Bangli. Diantara raja-raja di Bali, Raja Dewa Agung dari Klungkung diakui sebagai Raja Tertinggi, karena selain menjadi raja, juga diakui sebagai pimpinan agama di seluruh Bali.
Belanda yang berniat menguasai Bali mendapat kesempatan ketika raja karangasem pada tahun 1841 meminta bantuan Belanda untuk memulihkan kekuasaannya di Lombok. Hal ini memberi kesempatan Belanda untuk mengikat Kerajaan Karangasem dengan sebuah perjanjian yang akan membuka pintu untuk mengadakan hubungan politik dengan seluruh Bali. Belanda juga mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Klungkung, Badung dan Buleleng.
Salah satu hal yang dituntut belanda dalam perjanjian itu adalah penghapusan Hak Tawan Karang, yaitu hak Kerajaan-Kerajaan di Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah kekuasaannya. Hukum Tawan Karang ini telah menimpa kapal-kapal Belanda pada tahun 1841. Pada tahun 1843, Raja Buleleng dan Karangasem menandatangani perjanjian penghapusan Hukum Tawan Karang. Akan tetapi, perjanjian itu tidak pernah dijalankan sungguh-sungguh. Pada tahun 1844, di pantai Prancak, jembrana dan pantai Sangsit, Buleleng terjadi perampasan atas kapal Belanda yang terdampar. Belanda menuntut ganti rugi atas kapal-kapal yang disita tersebut.
Pada tahun 1845, Raja Buleleng menolak mengesahkan perjanjian penghapusan Hak Tawan Karang yang diajukan Belanda. Pada tahun 1846, sebuah perahu dari Jawa terdampar di pantai Sangsit Buleleng. Sesuai dengan Hukum Tawan Karang, Patih Kerajaan Buleleng I Gusti Ketut jelantik memerintahkan perampasan atas muatan perahu tersebut. Maka terjadilah suatu persengketaan politik Karena Belanda menghendaki penghapusan Hak Tawan Karang (klip Recht).Belanda meminta hukum tawan karang di hapuskan (Poesponegoro, 1990:231).
Raja Buleleng kemudian mengutus Patih I Gusti Ketut Jelantik untuk melaporkan kejadian itu dan menyampaikan pendiriannya kepada Raja Klungkung, I Dewa Agung Putera. Pada saat yang bersamaan di Kerajaan Klungkung hadir pula utusan Belanda untuk menyampaikan surat Gubernur Jenderal di Batavia kepada raja Klungkung yang berisi tuntutan agar pelaksanaan Hak Tawan Karang dihapuskan. Dihadapan Raja Klungkung dan utusan dari Batavia tersebut, Patih Jelantik merobek surat tersebut dengan ujung kerisnya. Belanda mengultimatum Raja Buleleng untuk menerima truntutan itu dalam 3 hari. Batas waktu tuntutan tidak dapat dipenuhi. Situasi menjadi tegang. Sementara itu, pada tanggal 27 Juni 1846 telah tiba di Buleleng 1.700 orang pasukan Belanda. Ketika Raja Buleleng tidak menggubris tuntutan Belanda, pasukan mulai didaratkan. Prajurit-prajurit Bali telah bersiap-siap menyambut serangan itu. Tembak-menembak berlangsung seru. Tembakan-tembakan meriam Belanda telah menyebabkan prajurit Bali mundur dari pantai. Benteng Buleleng jatuh pada tanggal 28 Juni 1846. Istana jatuh sehari kemudian. Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ketut jelantik beserta pasukannya terpaksa menyingkir ke Jagaraga. Buleleng kemudian dipaksa menandatangani perjanjian yang berat sebelah. Buleleng harus mengganti ¾ biaya perang yang sudah dikeluarkan Belanda.
Perjanjian itu oleh Raja Buleleng hanya dipakai siasat untuk memperkuat diri. Pembayaran biaya perang tidak pernah dilaksanakan. Waktu pasukan Belanda di tarik ke Jawa, persiapan laskar kerajaan-kerajaan di Bali makin digiatkan. I Gusti Made Karangasem,Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ketut Jelantik secara diam-diam menyusun kekuatan di Desa Jagaraga dengan membuat strategi perbentengan yang terkenal dengan nama”Benteng Jagaraga”. Benteng yang dibuat dengan tanah liat itu mempunyai jebakan-jebakan dari bambu runcing yang disamarkan dengan kolam disekeliling benteng. Siasat ini terkenal dengan siasat ”Supit Urang”(Capit Udang) dan merupakan strategi yang digunakan oleh Mahapatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 masehi.
Persiapan ini akhirnya tercium oleh Pemerintah Belanda yang berpangkalan di Kota Singaraja, sehingga pada tanggal 7 Maret 1848, Benteng Jagaraga digempur oleh pasukan Belanda yang didatangkan dari Batavia. Dalam serangan yang pertama ini, prajurit Belanda banyak yang tewas, karena tidak mengetahui siasat perang laskar Buleleng sehingga serangan tidak dilanjutkan.
Ekspedisi Belanda yang kedua dilakukan pada tanggal 15 April 1849 dibawah pimpinan Jenderal Michiels dan Overste Van de Breau. Pasukan Belanda kembali mendarat di Sangsit dan langsung mengadakan serangan dari dua arah yaitu dari depan dan belakang arah perbentengan Jagaraga. Akhirnya Belanda berhasil mengurung Benteng Jagaraga dan dengan demikian lascar Jagaraga terjepit. Walaupun dengan segala keberaniannya rakyat Buleleng berperang melawan Belanda, akan tetapi karena Belanda memiliki senjata yang modern, akhirnya Patih Jelantik mundur kearah timur menuju Karangasem dengan maksud mencari bantuan, namun beliau terbunuh dalam perjalanan. Sementara istri beliau, Jero Jempiring dengan gigih tetap maju melakukan perlawanan hingga gugur dalam peperangan.
Setelah Kerajaan Buleleng jatuh ke dalam kekuasaan Belanda, Kerajaan Klungkung telah memperkirakan akan menjadi sasaran berikutnya. Pada saat itu Kerajaan Klungkung diperintah oleh Dewa Agung Putera Kusamba,berkedudukan di Puri Kusamba, telah mempersiapkan diri dengan membina basis-basis pertahanan sebagai pelindung Ibu kotanya. Yaitu di selah timur daerah Satria dan Kusamba, di sebelah selatan Gelgel dan di sebelah barat adalah Banjarangkan.
Pada tanggal 18 Mei 1849, armada Belanda dibawah pimpinan Jenderal Michiels mendarat di Teluk Padang (Padangbai) dan membangun basis kekuatan untuk menyerang Klungkung. Sasaran pertama adalah Puri Kusamba.
Pada tanggal 24 Mei 1849, Kusamba diserang oleh armada Belanda dari tiga jurusan, yaitu dari arah timur dipimpin oleh Jenderal Michiels, dari utara dipimpin oleh Van Swieten, dan dari pantai dipimpin oleh Baulicius dengan pasukan marinirnya. Pertempuran berlangsung sampai pukul 15.00 sore. Dalam pertempuran tersebut lascar Kusamba mundur sambil melakukan politik Bumi Hangus. Ke-esokan harinya, pagi-pagi buta pasukan istimewa kusambamelakukan serangan mendadak di pimpin oleh Anak Agung Made Sangging dengan misi membunuh Jendral Michiels. Dalam situasi kacau balau oleh serangan mendadak, ternyata Jendral Michiels rebah, paha kirinya remuk terkena peluru. setelah operasi pemotongan kaki,akhirnya Jendral Michiels tewas dan serangan atas  Kerajaan Klungkung dibatalkan.
Pada tanggal 27 mei 1904, sebuah kapal Schoener dari Banjarmasin bernama Sri Komala terdampar di pantai Sanur. Menurut Pemerintah Belanda, kapal tersebut membawa banyak barang berharga dan dinyatakan hilang karena dicuridan dirampok oleh penduduk di sekitar Padang Galak, Sanur. Padahal rakyat Sanur merasa telah memberi pertolongan dan menyerahkan muatannya dengan rapi kepada Syahbandar.Pihak Belanda menuntut kerugian kepada Raja Badung sekitar f 7.500,00. Tuntutan Belanda itu ditolak oleh Raja Badung. Beberapa bulan berselang, datang controleur Liefrink dari batavia meminta tebusan atas atas barang-barang yang dinyatakan hilang atau dirampok. Raja Badung tetap pada pendiriannya yaitu menolak tuntutan Belanda tersebut. Dengan alasan ini, maka terjadilah penyerangan terhadap Kerajaan Badung.
Pada tanggal 20 September 1906, sejak pagi hari belanda telah melancarkan tembakan meriam dari pantai Sanur. Sekitar pukul 07.00 pagi, pasukan belanda lengkap dengan persenjataannya telah memasuki pusat kota. Tentara Belanda yang telah menguasai Kesiman dan Kayumas bergabung menjadi satu di Taensiat, mengatur siasat penyerbuan terhadap Puri Denpasar. 
Dengan menaiki tandu, Raja Badung yaitu I Gusti Ngurah Made Agung (Dewata Ring Taman) beserta seluruh keluarga istana, para punggawa, para pemimpin laskar, para abdi, laki perempuan, bahkan anak-anak, menyongsong pasukan Belanda dengan berpakaian serba putih bersenjatakan keris dan tombak. Terjadilah perang sengit, saling tikam , saling tusuk. Semangat perlawanan seperti ini dikenal dengan semangat "PUPUTAN" yaitu berperang melawan Belanda sampai titik darah penghabisan....
Seorang wanita dari pihak Puri bahkan ada yang berhasil menikam seorang serdadu Belanda sampai mati...sangat mengerikan..segala yang bergerak tak luput dari tembakan pasukan Belanda..,.mayat bergelimpangan bersusun-susun (dari pihak laskar Badung). Darah mengalir dan membeku, keris dan tombak berserakan disana-sini. Raja Badung juga gugur.

  Setelah Raja Badung beserta para pengiringnya gugur, Tentara Belanda menduduki Puri Agung Denpasar. Setelah berhenti sejenak, tentara Belanda bergerak menuju Puri Agung (istana) Pemecutan. Pertempuran tak dapat dihindari, dimana Raja Pemecutan I Gusti Ngurah Agung Pemecutan bersama permaisuri dan putri mahkota beserta para pengiring dan laskar pemecutan, dengan semangat PUPUTAN melakukan perlawanan kepada serdadu Belanda. Raja Pemecutan dan semua pengiring dan laskarnya pun gugur di medan perang...(tercatat kurang lebih 2.000 orang gugur pada perang 'Puputan Badung').
Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya Kerajaan Klungkung (I Dewa Agung Jambe) pada tahun 1908, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda.
Belanda menempatkan P.L Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali...